class="fsize14 lh20">
Pertandingan bola volley antar kelas pada sore hari di lapangan sekolah sangat ramai oleh suara pendukung masing-masing regu. Hari ini pertandingan antara kelas XII IPS 1 melawan kelas X.3. pertandingan memasuki babak ke 3, babak penentuan. Sorak sorai masing-masing pendukung bergemuruh memecah pagi hari yang terasa terik. Serangan balik antara dua regu silih berganti. Lapangan volley terasa sempit dengan sesaknya penonton yang mencoba meringsek ke depan.
Posisiku sekarang ada di depan, di mana harus membalas serangan kelas X.3 yang ternyata tangguh-tangguh. Smash dari kelas X.3 sangat keras yang tak bisa dihalau oleh Agus pada posisi depan sebelah kanan. Bola langsung meluncur ke kiri, aku mencoba menyelamatkan bola tanpa memperhatikan posisi penonton. Akibatnya, aku jatuh diantara kaki penonton. Penontonpun kocar-kacir menyelamatkan diri dariku.
"Aduh," teriakku kesakitan akibat kakiku terbentur lantai semen.
Untunglah, tempat jatuhku tempat para cewek melihat. Tanpa sengaja, saat kuberdiri, melihat sosok bidadari yang belum pernah kulihat selama bersekolah di SMU Harapan selama dua tahun lebih sedikit ini. Yang kulihat pertama adalah training warna merah muda, dan wajah putih nan sayu. Sangat tampak kelembutan pada dirinya. Siapa dia? Senyum manisnya mengembang saat melihatku mencoba berdiri.
Selama babak penentuan ini, mataku tak henti-hentinya melihat kearahnya. Aku mencoba tenang, tapi rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Tak konsetrasinya aku, berbuah petaka. Kelas X.3 melakukan smash, perkiraanku umpan bola tak dapat dismash dengan keras dan pasti dapat dihalau oleh temanku. Akupun mundur untuk menyiapkan mengambil bola. Tapi tiba-tiba
"Aduh!" bola mengenai kepalaku dengan sangat keras.
Penonton teriak dan tertawa-tawa melihat aku terkena smash dengan telak. Rasa malu menjalariku. 'Ayo, konsentrasi,' hiburku. Gara-gara cewek imut berkerudung, aku jadi terkena smash di kepala. Aku lihat sekilas, dia hanya tersenyum melihat kejadian yang sangat memalukan buatku. Senyum manisnya mulai menggodaku. Akan kutunjukkan permainan terbaikku padanya.
Aku perhatikan, gadis manis berkerudung itu selalu bersama teman perempuan sekelasku, Wiwin. Keadaan skor 23 – 15, kemenangan buat kelasku. Ketika aku dekat dengan Wiwin, "Win, siapa itu?" tanyaku padanya.
"Udah, main aja. Ntar terkena smash lagi," jawab Wiwin dengan ledekannya.
Aku hanya menanggapinya dengan cengengesan. Gadis manis berkerudung itu hanya tersenyum kecil melihat reaksiku. Pokoknya, nanti aku harus kenal pada gadis yang telah membuatku terkena smash. Dan, akhirnya dengan perjuangan yang keras dan rasa malu yang kuderita, akhirnya kelasku menang. Sorak-sorai dan teriakan kemenangan dari anak-anak kelas XII.IPS.1 membahana seluruh lapangan olah raga yang berada di tengah-tengah sekolah.
Aku sendiri tak menghiraukan kegembiraan teman-temanku. Mataku hanya mencari gadis manis berkerudung yang bersama Wiwin.
"Win!" teriakku pada Wiwin yang sedang berjalan pulang.
Yang kuteriaki menoleh diikuti juga gadis berkerudung di samping Wiwin.
"Apa?" tanya Wiwin keheranan.
"Kenalin sama di sebelahmu," pintaku pada Wiwin dengan setengah teriak.
"Kenalan sendiri!" jawab Wiwin sekenanya.
Aku menunjuk pada gadis manis berkerudung sambil mencoba tersenyum manis padanya. Gadis manis itu menjawab permintaanku dengan anggukkan kepala dan memberikan senyuman manis yang menghias bibir merah tipisnya.
"B..e..s..o..k," kataku tanpa bersuara padanya sambil mengarahkan jari telunjukku pada dadaku lalu ke arahnya.
Iapun berlalu dengan meninggalkan senyuman manis buatku. Hatiku berbunga-bunga mendapatkan jawaban yang pasti darinya. Dari kejauhan, aku hanya melihat gadis berkerudung itu. Yang lainnya tampak buram buatku. Besok, aku harus bermain ke kosan Wiwin sepulang sekolah.
Keesok harinya, sepulang sekolah.
Dengan sabar, kucoba menunggu Wiwin membereskan peralatan sekolahnya.
"Win, aku main ke kosanmu," pintaku padanya.
"Ya," jawab Wiwin dengan cueknya.
"Ni," kataku sambil memberikan coklat untuk menyuap Wiwin agar mau mengenalkanku pada temannya.
"Suap, ya," tanya Wiwin dengan tangannya menyambar coklat yang kupegang, "ayo!" ajaknya.
Aku mengikuti Wiwin dari belakang. Dalam pikiranku bertanya-tanya apa yang akan aku bicarakan dengan gadis manis berkerudung. Pikiranku kacau dan jatungku tiba-tiba berdetak lebih keras begitu memasuki teras kosan Wiwin. Aku duduk di teras yang sempit menghadap ke jalan. Dari dalam, kudengar suara ribut dan tawa-tawa kecil dari penghuni kos cewek ini.
"Yudis, ni orangnya," kata Wiwin di belakangku.
Lamunanku buyar dan segera kutengok ke samping kiri ternyata di belakangku telah berdiri Wiwin yang di sampingnya telah berdiri cewek manis berkerudung itu. Ia masih menunjukkan senyum manisnya di siang yang panas ini. Aku langsung berdiri dan mencoba menyembunyikan kegugupanku terhadapnya.
"Yudis, Yudistira," kenalku padanya sambil mengulurkan tangan padanya. Ia menerima uluran tanganku. Aku rasakan kehangatan dan halus tangannya, sehingga darahku terasa mendidih hingga mau keluar dari tubuhku.
"Mutiara," jawabnya pelan.
"Udah pegangan tangannya," cletuk Wiwin, "aku tinggal dulu. Sekarang terserah kalian," kata Wiwin sambil melangkah masuk ke dalam kosan.
"Trims," kataku padanya.
Kami berdua duduk di teras kosan yang sempit ini. Tiara memakai kaos warna putih berlengan panjang dipadu dengan celana training merah muda dan jilbab putih. Walau hanya memakai pakaian yang sederhana, ternyata ia masih tampak cantik. Kulit wajahnya yang putih bersih, alis matanya yang melengkung bagai bulan sabit serta bibirnya yang tipis kemerahan menunjukkan kecantikan yang alami.
Aku bingung mau bicara apa padanya. Apakah aku ceritakan kejadian kemarin saja, kataku dalam hati.
"Tiara," panggilku pelan, "Kamu tahu tidak? Kenapa aku kemarin terkena smash dengan telak," lanjutku.
Mutiara mejawabnya dengan gelengan kepala dan senyuman.
"Sebenarnya, waktu itu……aku hilang konsentrasi karena pandanganku selalu pada kamu," terangku dengan terbata-bata.
"Masa…… ," kata Mutiara menggodaku, "ya, aku tahu."
"Ah, masa….," jawabku gantian menggodanya.
Kamipun tertawa lepas membuat seisi kos mendehem-ndehem tak henti-hentinya. Akhirnya, kami berusaha menutup mulut dengan tangan agar tak bersuara.
Hari-hari berikutnya.
Hubunganku dengan Mutiara berjalan dengan baik dan lancar-lancar saja. Aku hanya menemuinya sepulang sekolah, pertemuan kami hanya satu atau dua jam saja. Sedangkan di sekolah aku jarang sekali menemuinya, hanya ingin menjaga privasi dirinya. Selain itu, dia jarang sekali terlihat di luar atau berada di kantin sekolah seperti cewek-cewek lainnya. Kerjaku saat jam istirahat hanya memperhatikannya dari jauh. Kebetulan kelas XI.IPA.1 berhadapan dengan kelasku, cuma dibatasi oleh lapangan olahraga. Dan jika kebetulan kami sama-sama tahu, aku hanya tersenyum dan melambaikan tanganku padanya. Tiara membalasnya dengan senyum manisnya.
Tiara merupakan cewek yang sederhana dan pendiam. Kadangkala, aku dibuat bingung dengannya. Bingung mau bercerita apa di saat aku berdua dengannya. Yang kurasakan hanyalah rasa hatiku yang selalu berdesir bila dekat dengannya. Rasa seperti inilah yang membuatku betah bersamanya. Yang ia tunjukkan hanyalah tatapan mata dan senyum manisnya. Ya, senyum yang selalu menghiasi bibir tipis merahnya.
Selesai jam olah raga, aku bersama-sama teman membeli minuman di kantin.
"Ei, Win. Minumku kok tidak manis," kataku pada Wiwin yang kebetulan berada di depanku.
"Ya sana, minta gula sama Mak'e," jawab Wiwin sekenanya.
"Ah, tidak perlu," kataku sambil mengangkat gelas yang berisi teh dan badanku kuputar ke depan, "lihat Mutiara saja, minumanku sudah manis," lanjutku.
Mutiara pada saat itu sedang lewat di depan bersama dengan dua temannya.
"Dasar, anak gila," olok Wiwin padaku.
"Ya, gila karena cinta. Hmm, gadis cantik dan manis seperti dia, siapa yang tidak suka," belaku.
"Bagaimana hubunganmu dengan Tiara?" tanya Wiwin.
"Baik,"
"Sudah kamu tembak?"
"Belum," jawabku sambil menggaruk kepala.
"Kenapa?" tanya Wiwin penasaran.
"Tidak tahu," jawabku pendek.
"Dasar gila, mau kamu apakan Mutiara?" kata Wiwin dengan nada kesal.
"Ah, gak tahulah Win. Aku begitu takut," jawabku dengan berat hati.
"Jangan terlalu lama menggantung cewek," ingat Wiwin padaku.
Peringatan Wiwin membuatku tersadar dengan keberanianku padanya. Dalam hatiku yang terdalam, aku begitu menyayanginya. Sayang yang tak bisa kuucapkan dengan kata-kata. Sayang yang begitu menyiksa diriku bila dekat dengannya. Sayang yang kadangkala membuatku merasa sangat bersalah.
Dua minggu lagi hari ulang tahun Mutiara. Aku bingung akan memberikan hadiah apa untuknya. Akhir-akhir ini uang di kantongku habis untuk membeli buku persiapan Unas dan SPMB. Kesederhanaan Mutiara membuatku bingung untuk menentukan hadiah yang sesuai dengannnya. Mutiara tidak seperti cewek-cewek lainnya yang suka berdandan baik di luar sekolah atau waktu sekolah.
Kurang dua hari lagi ulang tahun Mutiara, sekarang tanggal 3 November. Tanggal 5 ulang tahunnya, 'aduh bingung' keluhku dalam hati. Akhirnya, aku nekat memetik bunga anggrek milik ibu yang kebetulan sedang berbunga. Dua tangkai anggrek kuikat dengan pita warna merah muda dan kubungkus dengan plastik kado. Dengan hati-hati kuletakkan di dalam tas.
Kelas bubar, aku langsung lari di pintu gerbang menunggu Mutiara pulang. Dari kejauhan tampak Mutiara berjalan bersama temannya. Saat melihatku, senyum manisnya mengembang seperti biasanya. Senyum seperti inilah yang membuatku selalu kangen padanya. Degupan jantungku makin keras, tubuhku merinding ketika Mutiara mulai dekat denganku. Hatiku menjadi tak tenang.
"Nanti aja pulangnya," usulku pada Mutiara.
Mutiara memberi kode pada temannya untuk pulang terlebih dahulu.
Kami berdua berdiri diam menunggu anak-anak lainnya sepi. Aku mengajaknya jalan dengan pelan-pelan menuju kosannya yang jaraknya kira-kira tiga ratus meter dari sekolah.
"Selamat ulang tahun," kataku lirih.
"Terima kasih, Mas," ucapnya dengan menatap mataku.
Melihat tatapannya yang syahdu, membuatku kelabakan dan bingung. Aku mencoba mengambil rangkaian anggrek buatnya.
"Aku hanya bisa memberi ini," aku ulurkan rangkaian anggrek padanya.
Mutiara mengambil dari tanganku diikuti senyum manisnya yang hanya untukku. Ia menatap anggrek di tangannya, lalu menoleh padaku.
"Terima kasih," ucapnya.
"Kubuat sendiri," terangku pada Mutiara, "Pasti aku nanti dimarahi ibu," lanjutku.
Mutiara menyenggolku dengan bahunya dan tertawa cekikian mendengar penjelasanku yang singkat.
"Ada aja," kata Mutiara sambil terus memegang erat rangkaian anggrek di tangannya.
Kulirik dia, 'ah, kamu memang cantik dan manis Mutiara. Seperti namamu, Mutiara yang putih dan cantik' pujiku dalam hati.
'Kuharap engkau tahu, jika sayangku padanya seperti bunga anggrek itu. Bunga yang memberi keindahan yang bertahan lama dan tak mudah rontok. Bunga yang dapat hidup, walau dengan air yang sedikit. Bunga yang memberi keindahan di tengah hutan yang menyeramkan. Bunga yang hidup bagaikan parasit. Ya kau bagaikan parasit yang ada di hatiku' kataku dalam pikiran. Kalimat yang tak terucap di mulutku.
Sesampai di kosan, Mutiara langsung masuk ke dalam.
"Apa itu, Tiara?" tanya salah satu temannya.
"Suit, suit, yang baru diberi bunga," goda yang lainnya.
"Apa-an sih," bela Mutiara.
"Mas, aku gak diberi?" cletuk Indah yang terkenal usil. "Udah tak ada. Itu spesial," jawabku sekenanya dari teras.
"Spesial ni ye….," kata penghuni kos hampir bersamaan.
"Iya, dong," belaku.
"Nada-nadanya tambah lengket," goda Wiwin dari dalam.
Mendengar ucapan Wiwin, aku hanya tersenyum. Mencoba meng-iya-kan ucapan Wiwin. Tapi, aku belum bisa mengucapkan kata-kata itu. Kalimat yang berisi tiga kata, 'aku cinta kamu'. Yang kubisa hanya memberikan perhatian padanya. Cinta dan sayang tak perlu diucapkan, tapi harus ditunjukkan dengan perhatian dan perilaku yang menggambarkan rasa cinta kita pada seseorang.
Aku sendiri bingung menghadapi Mutiara. Bingung, apakah dia juga memiliki perasaan yang sama denganku? Dia adalah gadis yang begitu dingin, semua ekspresinya hanya ditunjukkan dengan senyuman. Senyum yang membuatku merindu tiap detik.
Hubunganku dengan Mutiara hampir setahun. Sekarang tiba waktunya aku harus meninggalkan sekolah dan juga meninggalkan gadis yang kusayang. Hatiku merasa limbung jika harus meninggalkan Mutiara. Meninggalkan sekolah aku bisa, tapi meninggalkan Mutiara, aku tak bisa. Dan ditambah lagi, aku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya, yang berarti harus meninggalkan Banyuwangi dan Mutiara. Kami harus terpisah jarak tiga ratus kilometer dengan waktu tempuh enam jam perjalanan. Aku menetapkan hati untuk menjaga hati. Hati yang hanya untuk Mutiara.
Perpisahanku dengan Mutiara ditandai dengan foto bersama saat acara perpisahan. Selama ini, aku belum memiliki fotonya. Aku berharap, foto itu akan membawa kenanganku dan menjaga hatiku padanya. Aku tak akan menuntut apa-apa pada Mutiara. Semoga, ia memahami aku.
Selama setahun hubunganku dengan Mutiara, aku belum pernah mengajaknya keluar. Bermain ke rumahnya saja aku belum pernah. Kadangkala, hatiku tersiksa dengan semua ini. Mungkin aku terlalu asyik dengan diriku sendiri. Asyik untuk mengejar cita-citaku. Di kelas XII, aku harus benar-benar siap menghadapi segala hal. Tapi, harus kuakui jika kehadiran Mutiara dalam kehdiupanku, membuatku semakin bersemangat. Hal ini kubuktikan bahwa aku dapat nilai terbaik satu sekolah.
Dua bulan aku belum bertemu dengan Mutiara karena kegiatan perkulihanku yang begitu padat. Tiap minggu aku selalu berkirim kabar padanya. E-mail tentang kerinduanku padanya tak pernah kukirim padanya. Dan sebaliknya, ia pun selalu menceritakan hari-harinya dan kesibukannya di kelas XII seperti aku dulu.
Setelah dua bulan penuh dengan kerinduan, akhirnya aku mencoba menemuinya saat pulang sekolah. Penantianku di depan gerbang terasa sangat lama sekali. Rasa hatiku tak karuan menunggu ia keluar dari pintu gerbang. Aku ingin membuat kejutan padanya. Debaran jantungnya menjadi-jadi saat mendengar bel pulang berbunyi. Beberapa detik kemudian, puluhan wajah mulai keluar dari gerbang sekolah. Aku mencoba memilah-milah wajah tuk mencari wajah lembut dan manis milik Mutiara.
Dari kejahuan tampak wajah yang kukenal dengan sangat baik. Tapi dengan siapa ia berjalan? Ia terlihat sedang berbicara dengan seorang cowok yang berambut keriting. Aku tahu, cowok itu anak IPS. Ada apa Mutiara berbicara dengannya? Karena selama ini, Mutira tak pernah berjalan dengan cowok kecuali denganku. Aku berusaha menyembunyikan perasaanku dan kulambaikan tanganku padanya.
Ia sangat terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Seperti biasa, ia tersenyum manis padaku. Dan cowok yang bersamanya berhenti berjalan di sampingnya.
"Kok tidak cerita jika mau pulang?" tanya Mutiara dengan pelan.
"Kejutan," belaku padanya.
Kulihat cowok keriting tadi, ternyata ia sudah menghilang. Aku mencoba memendam semua pertanyaan yang ada dikepalaku.
"Aku punya hadiah," kataku sambil memberikan kado padanya.
"Apa ini?" tanya Mutiara penasaran.
"Rahasia," jawabku, "bentar lagi kan ulang tahun. Mungkin aku tak bisa datang," terangku padanya.
Ia tersenyum seolah-olah mengerti maksudku. Pertemuanku dengan Mutiara yang singkat, begitu berarti bagiku. Cinta itu memang aneh.
Sebulan kemudian, pada Jumat malam selepas maghrib, aku menemui Tiara di kosannya. Aku ditemuinya dengan sangat baik. Aku menceritakan pengalamanku selama kuliah di Surabaya dan ia pun menceritakan kegiatan sekolahnya yang padat dengan berbagai bimbingan.
Di saat kami asyik bercerita, datanglah cowok yang pernah kulihat sebulan yang lalu. 'Ngapain ni orang datang kemari,' umpatku dalam hati. Maka beralihlah topik pembicaraan Mutira pada cowok keriting itu. 'Ada apa dengan dua orang ini?' tanyaku pada diriku sendiri dengan hati yang dongkol. Aku hanya membaca majalah yang kebetulan ada di meja. Aku mencoba tak mendengarkan ocehan mereka.
Dengan perasaan dongkol, aku pamit pulang. Tapi aku berusaha menyembunyikan perasaan cemburuku pada Mutiara. Senyumku tetap kuberikan padanya. Dalam perjalanan pulang, otakku dipenuhi berbagai macam pertanyaan tentang Mutiara. Apakah kamu telah berpaling padaku? Apakah ini juga kesalahanku yang menggantung dirinya? Memang betul kata Wiwin pada waktu itu, 'jangan terlalu lama menggantung cewek, menyesal nanti.' Saat ini, aku sangat begitu menyesal. Rasa sayangku padanya membuat mulutku terkunci.
Kereta Mutiara Timur membawaku kembali ke Surabaya, meninggalkan Mutiara hatiku. Ya, Mutiara yang telah membuatku bersemangat dan menjaga hatiku untuknya selama di Surabaya. Aku ingin kau bahagia, biarlah kau tentukan sendiri orang yang pantas untuk dirimu. Aku ingin kau bebas, sebebas burung-burung yang terbang di angkasa.
Mulai kejadian itu, aku jarang sekali kembali ke Banyuwangi dengan alasan sibuk. Aku juga tidak pernah berkirim kabar kepada Mutiara. Dalam kado ulang tahun yang kuberikan telah kutulis isi hatiku padanya. Semoga ia dapat memahaminya. Hari-hari kulalui dengan rasa kangen yang menyesakkan dada. Aku tersiksa sekali dengan perasaan sayang dan rinduku pada Mutiara. Dalam kesendirianku, sering kupanggil nama Mutiara untuk melepaskan rinduku padanya. Fotoku berdua dengan Mutiara menjadi satu-satunya obat kangenku padanya.
Kegalauan hati membuatku tak mengurus diriku. Hampir enam bulan aku hidup dengan perasaan yang tak menentu, hingga aku lupa jika saat ini Mutiara telah lulus dari SMU. Kemana dia selepas dari SMU? Pertanyaan yang sangat menggangguku. Maka aku putuskan untuk bertanya pada teman karibnya.
Dari percakapan telepon dengan Wina, aku diminta mengambil surat dari Mutiara yang titipkannya padanya. Mendengar keterangan Wina, maka aku putuskan pada malam hari kembali ke Banyuwangi dengan menaiki Mutiara Timur malam. Selama perjalanan, perasaanku tak tenang. Semalaman aku tak bisa memejamkan mata. Suara kereta yang bising menambah kegundahan hatiku yang penuh dengan tanya.
Sekitar jam sembilan pagi, aku meluncur ke rumah Wina yang kebetulan masih satu desa denganku. Wina telah menungguku di depan pintu rumahnya dan langsung memberikan sepucuk surat dengan amplop merah jambu. Dengan tangan gemetar dan jantung yang berdetak lebih cepat, kusobek surat merah jambu dari Mutiara. Dalam kertas berwarna merah jambu tampak tulisan indahnya tapi diantara kata-kata yang tertulis ada beberapa bagian yang ternoda dengan tetesan air. Air matakah itu? tanyaku dalam hatiku yang mulai tak menentu. Surat dari Mutiara tertulis sebagai berikut,
Salam kangen buat Mas Yudistira,
Ketika membaca suratku ini, mungkin aku sekarang sudah tidak berada disini. Aku akan berpindah ke luar Jawa, yaitu Papua dimana bapakku harus berpindah tugas disana.
Lama aku menunggu kabar dari Mas Yudistira sejak pertemuan terakhir kita. Pertemuan yang mungkin membuatmu bertanya-tanya. Sebenarnya aku dengan cowok itu tak ada hubungan apa-apa. Silahkan bertanya pada Wina, biarkan saja dia yang menjelaskan.
Dan yang perlu diketahui, di dalam novel "Ku ingin selamanya" kuletakkan rangkaian anggrek yang Mas berikan sebagai tanda rasa sayangku pada Mas Yudistira. Rangkaian Semoga saja, waktu dan takdir berpihak pada kita.
Yang selalu berharap,
Mutiara.
"Yudis!" panggil Wina.
"Ah, seandainya…. waktu dapat ku putar kembali," sesalku.
"Sebenarnya Tiara hanya menjadi mak comblang buatku pada saat itu," terang Wina, "ya, memang berhasil. Tapi setelah acara perpisahan, aku ditinggalkan begitu saja oleh Toni. Dasar playboy!" lanjut Wina dengan berkaca-kaca.
Kakiku lemas sehingga membuatku bersimpuh diteras Wina. Tak terasa, air mataku menetes. Rasa sesal dan bersalah menghantuiku. Ternyata aku begitu kejam terhadap orang yang sangat kusayang. Alasanku yang mencoba tak bertanya dan ketakutanku telah membawa Tiara pada kesedihan yang mendalam. Tak ada kata perpisahan yang indah buat Mutiara hatiku. Aku berharap bisa selamanya dengannya.